• Post author:
  • Post category:Siaran Pers
  • Reading time:6 mins read

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Peludem)

Jakarta, 29 Februari 2016

Pemerintahan hasil Pilkada Serentak 2015 akan menghadapi fragmentasi politik yang tinggi di parlemen. Tanpa didukung koalisi yang kuat, perancangan kebijakan dan pengambilan keputusan antara eksekutif dan legislatif akan menemui kesulitan dan berpotensi pada praktek transaksi.

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) melakukan penelitian untuk melihat relasi pemerintahan hasil Pilkada Serentak 2015 dengan tingkat fragmentasi politik di DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Penelitian difokuskan pada tiga lokus daerah Pilkada: tujuh provinsi yang melaksanakan Pilkada, 27 kabupaten/kota yang Pilkadanya dimenangkan olehincumbent, serta 45 daerah yang Pilkadanya dimenangkan perempuan.

Tingginya fragmentasi parlemen

Parlemen di daerah yang menjadi lokus penelitian memiliki nilai rata-rata effective number party in parliament (ENPP) lebih dari tujuh. Nilai ini menunjukan bahwa terdapat lebih dari tujuh partai politik relevan yang memiliki pengaruh untuk ikut serta dalam perumusan kebijakan. (Lihat Grafik 1, Grafik 2, Tabel 3, dan Tabel 4 dalam lampiran)

Indeks ENPP adalah indeks yang paling relevan untuk mengukur tingkat fragmentasi parlemen. Indeks ini adalah formula matematis yang diajukan Laakso dan Taagepera (1979) dengan maksud untuk mengetahui jumlah partai relevan di parlemen. Semakin besar indeks ENPP, maka semakin terfragmentasi parlemen dan semakin sulit keputusan diambil.

Mengacu pada konsep multipartai yang diajukan Satori (1976), nilai ini menunjukkan adanya polarisasi multipartai yang ekstrem. Sistem multipartai ekstrem memiliki rentang jarak ideologi cukup jauh antarpartai politik akibat terdapat lebih dari lima partai politik besar (dalam kasus ini bahkan ada tujuh partai) dengan jumlah kursi yang cukup signifikan di parlemen. Ini berdampak pada terbentuknya polarisasi dan sulitnya membangun stabilitas politik yang ada. Dengan kata lain sistem multipartai ekstrem cenderung terfragmentasi.

Koalisi minoritas dan terputus

Sebagian besar kepala daerah terpilih didukung oleh minoritas kursi di DPRD.Sebagian besar kepala daerah didukung oleh partai politik atau gabungan partai politik dengan persentase kursi kurang dari 50 persen. (Lihat Tabel 5 dan Tabel 6 dalam lampiran)

Koalisi partai politik pengusung kepala daerah tidak memperhitungkan keadaan fragmentasi politik di parlemen yang ditunjukkan dengan nilai ENPP. Padahal, koalisi yang solid dibutuhkan dalam penyelenggaraan pemerintahan presidensialisme yang mengharuskan eksekutif dan legislatif menghasilkan kebijakan publik secara bersama-sama.

Di sisi lain, sebagian besar koalisi partai politik pengusung kepala daerah di tingkat provinsi tidak selaras dengan koalisi partai politik di tingkat pemerintahan pusat hasil Pemilu Presiden 2014. Begitu pula koalisi partai politik pengusung kepala daerah di level kabupaten/kota tidak selaras dengan koalisi partai politik di level provinsi.

Kondisi ini sedikit banyak berpengaruh pada efektivitas hubungan pemerintahan pusat dengan daerah kelak. Mengingat, dalam kerangka desentralisasi yang telah membagi urusan pemerintah pusat dengan daerah dan tertuang dalam UU 9/2015, pemerintahan provinsi akan banyak berhubungan dengan pemerintah pusat dalam pengambilan kebijakan strategis seperti izin eksplorasi hayati, energi, mineral, sampai dengan relasi distribusi anggaran atau transfer pusat ke provinsi.

Efektivitas pemerintahan di ambang batas

Kondisi tingginya indeks ENPP, minoritas koalisi partai politik pengusung kepala daerah terpilih, serta adanya pola koalisi yang terputus dan tidak kongruen, paling tidak berdampak pada efektivitas penyelenggaraan pemerintahan secara horizontal—antara eksekutif dan legislatif (DPRD Provinsi)—maupun secara vertikal—antara pemerintah pusat dengan daerah.

Adanya pemerintahan yang tidak kongruen secara horisontal dengan terdapatnya minoritas dukungan parlemen terhadap kepala daerah terpilih dan tingginya indeks ENPP berdampak pada efektivitas perumusan kebijakan publik di parlemen. Secara teoritik terdapat dua akibat yang berpotensi muncul: pertama, konflik antara eksekutif yang berkepanjangan yang berujung pada deadlock pengambilan keputusan dan kebijakan publik. Kedua, terjadinya korupsi politik yang melibatkan eksekutif dan legislatif dalam wujud sistem kepartaian yang terkartelisasi.

Dalam konteks Indonesia, deadlock dalam perumusan kebijakan publik antara gubernur dengan DPRD provinsi hampir jarang terjadi. Pada realitasnya kebijkan publik yang berbasiskan transaksional yang dapat berujung pada praktik korupsi dengan melibatkan kepala daerah dan anggota DPRD bisa saja terjadi.

Basis transaksi ini menjadi pelumas sekaligus alasan di balik mengapa kebijakan publik yang diusulkan oleh pemerintah daerah tetap dapat disetujui oleh DPRD di tengah minoritasnya dukungan koalisi partai politik pengusung kepala daerah di parlemen.

Dengan kata lain, suap kebijakan (atau dalam ilmu politik dikenal dengan istilah influence) dilakukan untuk mempermudah pembahasan kebijakan publik di tengah kondisi DPRD yang tidak sepaham. Suap ini dapat dijadikan instrumen dasar bagi kepala daerah terpilih untuk memuluskan perda ataupun APBD yang diusulkan oleh pemerintah daerah dan memerlukan persetujuan DPRD Provinsi.

Sementara adanya pemerintahan yang tidak kongruen secara vertikal—antara pemerintah pusat dengan daerah—dapat berpengaruh di setiap pengambilan keputusan yang melibatkan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam UU 9/2015.

Kondisi tersebut sedikit banyak akan berpengaruh pada relasi anggaran penyelenggaran pemerintahan daerah terutama dana transfer pusat terhadap daerah baik dalam wujud Dana Alokasi Umum (DAU) ataupun Dana Alokasi Khusus (DAK) pengalokasian anggaran.

Logikanya, jika pola koalisi pusat dan pemerintahan daerah selaras akan sangat dengan mudah bagi pemerintah daerah untuk meraih alokasi keuangan negara tersebut. Akan tetapi jika koalisi partai politik pemerintahan pusat dengan koalisi pengusung partai politik di tingkat pemerintahan daerah tidak sejalan bahkan terlibat konflik, akan sangat dengan mudah bagi pemerintah pusat untuk mempersulit akses terhadap alokasi anggaran tersebut maupun peningkatan dana alokasi tersebut.

Berdasarkan uraian di atas, kami menyampaikan beberapa hal sebagai berikut.

  1. Pilkada Serentak 2015 masih belum mampu mewujudkan tujuan pemilu yaitu menciptakan pemerintahan yang efektif, memperkuat sistem pemerintahan presidensialisme, serta menyederhanakan partai.
  2. Pemerintahan hasil Pilkada Serentak 2015 tidak mampu membangun koalisi pemerintahan yang kongruen secara horisontal (eksekutif-legislatif) dan vertikal (pusat-daerah). Kondisi ini akan membuka peluang perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan didasarkan pada transaksi.
  3. Pilkada Serentak mesti didesain untuk menciptakan eksekutif-legislatif yang kondusif menuju pemerintahan efektif. Implementasi pemilu serentak daerah (local concurrent election) yang memilih kepala daerah dan anggota legislatif daerah di hari yang sama bisa menjadi solusi. Upaya ini diharapkan bisa menciptakan kondisi fragmentasi partai di parlemen yang rendah sekaligus mengonsolidasikan dukungan koalisi yang kuat bagi kepala daerah terpilih.

Demikian siaran pers ini kami sampaikan. Atas perhatian rekan-rekan kami ucapkan terima kasih.

Kontak:

Heroik M. Pratama, Peneliti Perludem (085694227987);
Maharddhika, Peneliti Perludem (081310489942)