• Post author:
  • Post category:Berita
  • Reading time:3 mins read

Jakarta, Beritasatu.com – Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini mengungkapkan sejumlah dampak negatif dari kenaikan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) atau PT yang tinggi. Pertama, kata Titi, kenaikan PT bakal berdampak buruk terhadap penyelenggaraan pemilu.

“Ambang batas memang bisa secara cepat mengurangi jumlah partai yang bisa masuk parlemen, tapi juga bisa membawa dampak kurang baik bagi penyelenggaraan pemilu. Semakin tinggi ambang batas maka partai makin sulit untuk bisa dapat kursi dan mengirim wakil-wakilnya masuk parlemen,” ujar Titi di Jakarta, Rabu (11/3/2020).

Kedua, kata Titi, ambang batas yang semakin tinggi bisa mengakibatkan pemilu di Indonesia semakin disproporsional. Artinya perolehan suara yang diperoleh partai tidak seimbang dengan perolehan kursinya saat dilakukan konversi suara menjadi kursi.

“Padahal kita menganut sistem proporsional. Tetapi kalau ambang batas semakin tinggi justru menjadi disproporsional,” tandas Titi.

Ketiga, ambang batas yang tinggi  akan membuat makin banyaknya suara sah yang sudah diberikan pemilih saat mencoblos di TPS menjadi tidak bisa dihitung alias menjadi suara terbuang atau wasted votes.

“Kalau makin besar angkanya dan makin banyak partai yang tidak bisa dikonversi suaranya menjadi kursi ini bisa berakibat pada ketidakpuasan politik, lalu membuat apatisme politik warga, atau bahkan bisa berdampak buruk mengakibatkan benturan dan konflik politik,” terang Titi.

Keempat, dengan ambang batas yang tinggi juga bisa memicu pragmatisme politik. Alih-alih memperkuat ideologi dan kelembagaan partai, kata dia, justru kenaikan ambang batas disikapi dengan mengambil jalan pintas, yakni melakukan politik uang lebih masif dengan harapan bisa merebut suara melalui praktik jual beli suara yang mereka lakukan.

Terakhir, kata Titi, ambang batas yang tinggi juga bisa mengakibatkan makin sulitnya perempuan untuk duduk di parlemen karena partai-partai yang mengusung mereka tidak lolos PT. Hal ini, pernah terkadi pada Grace Natalie dan Tsamara Amany dari PSI saat Pileg 2019 lalu.

“Padahal perolehan suara Grace Natalie dan Tsamara Amany cukup besar, namun keduanya tidak lolos ke Senayan karena partainya tidak lolos PT,” jelas Titi.

Lebih lanjut, Titi mengatakan menyederhanakan sistem kepartaian di Indonesia tidak hanya bisa dilakukan dengan menaikkan ambang batas. Ambang batas, tutur dia, memang bisa secara cepat mengurangi jumlah partai yang bisa masuk parlemen.

“Padahal pemilu serentak legislatif dan eksekutif sendiri salah satu instrumen untuk melakukan penyederhanaan parpol melalui efek ekor jas (coattails effect) sebagai salah satu implikasinya,” tegas Titi.

Selain itu, menurut Titi, penyederhanaan partai juga bisa dilakukan dengan memperkecil besaran daerah pemilihan atau melalui pemberlakuan ambang batas pembentukan fraksi di parlemen.

“Jadi tidak perlu dibatasi untuk masuk parlemen namun untuk membuat konsentrasi di parlemen menjadi lebih sederhana, maka ada pemberlakuan ambang batas perolehan kursi yang mereka harus penuhi. Sehingga pengambilan keputusan di parlemen juga menjadi lebih sederhana,” pungkas Titi.

Seperti diketahui, partai-partai besar mulai menggulirkan kembali gagasan untuk menaikkan ambang batas parlemen dengan tujuan untuk menyederhanakan sistem kepartaian dan memperkuat kelembagaan partai politik. Misalnya saja Golkar dan Nasdem yang mematok angka PT sebesar 7 persen.

Sumber: https://www.beritasatu.com/politik/607845/perludem-beberkan-dampak-negatif-kenaikan-ambang-batas-parlemen