• Post author:
  • Post category:Pemikiran
  • Reading time:5 mins read

Indonesia sedang dalam status darurat nasional pandemi corona berdasarkan penetapan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan akan berlangusng hingga 29 Mei 2020. Semua pihak diminta melakukan upaya bersama untuk mencegah penyebaran wabah Covid-19 yang sejauh ini penderitanya terus bertambah. Hingga Senin (16/3) pemerintah mengkonfirmasi sudah 134 orang positif corona, dengan 5 diantaranya meninggal dunia. Secara global, tercatat lebih dari 182.605 orang yang terinfeksi, tersebar di 162 negara.

Ini tentu bukan perkara enteng. Pemerintah pun sudah membentuk Gugus Tugas penanganan Covid-19 yang diikuti himbauan Presiden Joko Widodo agar masyarakat menghindari kerumunan, tempat keramaian, ataupun berkumpul bersama orang banyak (social distancing). Serta lebih mengutamakan untuk bekerja dari rumah. Banyak pemerintah daerah, semisal DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, sudah ambil kebijakan untuk meliburkan sekolah setidaknya selama 14 hari sejak 16 Maret lalu.

Di saat yang sama, jajaran penyelenggara pemilu juga tengah berjibaku melaksanakan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) serentak 2020. Sesuai kerangka waktu tahapan, program, dan jadwal yang telah ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Bila tak ada aral melintang, 270 daerah meliputi 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota akan ikut serta dalam perhelatan demokrasi lokal terbesar tahun ini. 270 daerah itu tersebar di 32 provinsi, menyisakan hanya Aceh dan DKI Jakarta sebagai daerah yang sama sekali tidak ikut berpilkada.

Meskipun pemungutan suara baru akan berlangsung 23 September 2020, namun tahapan pilkada sudah dieksekusi sejak 23 September 2019. Lantas, bagaimana KPU merespon keberlanjutan tahapan pilkada sehubungan darurat nasional corona ini?

Ternyata KPU belum berpikir untuk menjadikan penundaan tahapan Pilkada sebagai opsi di tengah pandemi global Covid-19. KPU sebatas menunda selama dua pekan pelaksanaan pelatihan internal dan peluncuran pilkada yang melibatkan pengumpulan massa dalam skala besar. Bimtek, pelatihan, dan launching pilkada diminta dijadwalkan ulang mulai 1 April 2020.

KPU juga mengeluarkan surat edaran yang mengatur pola kerja pegawai di berbagai tingkatan. Serta meminta jajaran daerah menyediakan sarana proteksi diri bagi petugas KPU berupa masker dan cairan pembersih. Selain itu, dalam rilis persnya KPU menyebut tahapan yang akan berlangsung pada Maret-April tetap dilakukan dengan pengaturan khusus. Pelantikan Panitia Pemungutan Suara (PPS) oleh KPU kabupaten/kota dilakukan di kecamatan secara bergelombang, pagi hingga sore, tidak dikumpulkan sekaligus di satu kesempatan untuk menghindari pengumpulan massa.

Verifikasi faktual dukungan bakal calon perseorangan tetap dilaksanakan petugas KPU dengan menghindari kontak langsung. Petugas akan menggunakan cairan pembersih, masker, dan melakukan pembersihan pada alat yang digunakan. Tahap pemutahiran data pemilih dilakukan menggunakan skema proteksi yang serupa dengan verifikasi faktual bakal calon perseorangan.

Adil untuk semua

Konstitusi dan undang-undang pilkada mengatur bahwa pilkada dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Asas-asas tersebut, selama ini seolah hanya melekat pada proses kompetisi dan kontestan yang terlibat di dalamnya. Padahal, secara utuh, asas pilkada juga mengikat pada semua pihak yang jadi bagian pelaksanaan pilkada. Baik peserta, pemilih, maupun penyelenggara.

Terkait pandemi corona, penting bagi kita untuk melihat implentasi asas adil terhadap semua pihak. Pilkada wajib menjamin keadilan tak hanya bagi peserta maupun pemilih, tapi juga untuk personel penyelenggara. Penyelenggaraan pilkada bukan terjadi begitu saja. Untuk merealisasikannya, ada banyak orang yag terlibat menggerakan. Mulai dari komisioner, pegawai sekretariat KPU/Bawaslu, sampai ke petugas pemilihan di tingkat kecamatan, kelurahan, dan tempat pemungutan suara.

Mereka juga bagian dari warga negara Indonesia yang tentu ingin bekerja dalam rasa aman tanpa kekhawatiran bahwa saat bertugas akan tepapar ancaman virus berbahaya Covid-19. Meskipun ada sejumlah proteksi yang dipersiapkan untuk melindungi, tentu tak menghilangkan gangguan psikologis karena melakukan interaksi dengan sejumlah pihak guna tetap melaksanakan tahapan pilkada.

Padahal bila kita cermati, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota sama sekali tidak menabukan penundaan pilkada. Rujuk saja Pasal 120 UU dimaksud, yang secara eksplisit menyebutkan bahwa “Dalam hal sebagian atau seluruh wilayah pemilihan terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan sebagian tahapan penyelenggaraan pemilihan tidak dapat dilaksanakan maka dilakukan pemilihan lanjutan”. Pelaksanaan pemilihan lanjutan dimulai dari tahap penyelenggaraan pemilihan yang terhenti.

Artinya, pembuat undang-undang sudah memperhitungkan potensi resiko saat KPU dan jajarannya mengeksekusi tahapan pilkada. Maka, merupakan tindakan profesional bila KPU bisa menyiapkan strategi antisipasi yang komprehensif termasuk untuk merespon kondisi terburuk sekaligus.

Jangan Ragu

KPU jangan ragu mengikuti anjuran pemerintah untuk menunda kegiatan-kegiatan yang melibatkan banyak orang. Presiden tentu bukan tanpa alasan saat meminta jajaran pemerintah untuk membuat kebijakan sebagian ASN bisa bekerja di rumah menggunakan interaksi on-line, dengan tetap mengutamakan pelayanan yang prima kepada masyarakat. Presiden menekankan bahwa dengan kondisi saat ini, “saatnya kita kerja dari rumah, belajar dari rumah, ibadah di rumah”.

Sehingga merespon tahapan terdekat, bisa dimengerti bila KPU memutuskan untuk menunda implementasi sejumlah aktivitas pilkada yang mengakibatkan berkumpulanya banyak orang. Serta tidak melakukan seremoni berupa pelantikan, rapat kerja, rapat koordinasi, seminar, pelatihan, bimtek, atau apa pun bentuk pengumpulan massa lainnya.

Sebagai dampak corona, sejumlah negara sudah pula menunda pemilunya. Sebut saja penundaan putaran kedua pemilu lokal Perancis, penundaan pemilu lokal Inggris selama satu tahun, maupun penundaan pemilihan pendahuluan (primary election) Pilpres Amerika Serikat di beberapa negara bagian (Louisiana, Georgia, Ohio, dan Puerto Rico).

Penundaan pilkada bisa berkonsekwensi pemilihan lanjutan sesuai klausul Pasal 120 UU No.1 Tahun 2015. Para pemangku kepentingan tentu bisa memahami keputusan ini. Sebab pilkada bukan untuk membawa bahaya dan mempertaruhkan keselamatan orang-orang yang bertugas di dalamnya. Pilkada adalah instrumen demokrasi, yang mestinya diimplementasikan secara damai, dengan perlakuan yang adil, dan tanpa ada rasa takut.

Oleh karena itu, KPU harus susun mitigasi dampak Covid-19 secara holistik dengan melibatkan keseluruhan otoritas yang ada serta pihak terkait. Mulai dari Gugus Tugas, DPR, Pemerintah, partai politik, maupun pemantau pemilu. Berbagai skenario harus diperhitungkan oleh KPU, termasuk pula pilihan menunda sejumlah aktivitas tahapan pilkada.

Agar masyarakat tidak gagap, setiap langkah KPU mesti diimbangi komunikasi publik yang sigap, responsif, dan terukur. Sehingga apa yang diputuskan KPU bisa dipahami dengan baik oleh seluruh pemangku kepentingan. Cukup sudah korban jiwa jatuh di Pemilu 2019, kita tak boleh ulangi hal yang sama di Pilkada 2020. Apalagi saat kita sudah tahu bahaya apa yang ada di depan mata. Wallahualam. []

 

TITI ANGGRAINI
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)

*Artikel Opini ini dipublikasikan di Harian Republika pada 20 Maret 2020