• Post author:
  • Post category:Berita
  • Reading time:3 mins read

JAKARTA, KOMPAS.com – Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi ( Perludem) Fadli Ramadhanil mempertanyakan sikap pemerintah dan sejumlah fraksi di DPR yang enggan merevisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Argumen yang menyebutkan bahwa UU Pemilu tak perlu direvisi setiap lima tahun sekali, menurut dia, tak cukup kuat sebagai alasan. “Ini sangat patut dipertanyakan dan juga menjadi sangat aneh baik partai politik ataupun pemerintah merasa tidak perlu melakukan revisi Undang-Undang Pemilu,” kata Fadli dalam sebuah diskusi daring, Minggu (7/2/2021).

Fadli mengaku setuju bahwa setiap undang-undang, termasuk UU Pemilu, diharapkan memiliki masa berlaku yang panjang. Ia juga memahami banyaknya pihak yang berharap UU Nomor 7 Tahun 2017 dapat diberlakukan untuk dua, tiga, atau bahkan lima kali penyelenggaraan pemilu. Namun untuk mewujudkan hal ini, kata Fadli, harus dipastikan bahwa Undang-Undang Pemilu memadai diberlakukan dalam jangka panjang. Sementara, melihat banyaknya persoalan yang ada di UU Pemilu saat ini, Fadli menilai bahwa UU Nomor 7 Tahun 2017 tak memadai sehingga harus direvisi. “Kalau sekarang konteksnya semua pihak merasakan ada problem dari kerangka hukum Pemilu yang berlaku sekarang, baik di dalam UU Pemilu maupun UU Pilkada, masa iya kita mau memaksakan ini bisa berlaku 3-4 kali Pemilu?,” ujar Fadli. “Ada banyak aspek yang harus diperbaiki dan dikuatkan, dan itu disadari oleh semua pihak ketika menginisiasi perbaikan revisi UU Pemilu ini,” tuturnya.

Fadli pun menyayangkan sikap sejumlah fraksi partai politik di DPR yang menolak revisi UU Pemilu karena mengikuti sikap pemerintah. Menurut dia, alih-alih menuruti pemerintah, seharusnya DPR menjadi penyeimbang arah kebijakan kekuasaan. Seharusnya, kata Fadli, DPR bisa melihat lebih dalam kebutuhan proses penyelenggaraan Pemilu, termasuk menata ulang jadwal penyelenggaraan Pilkada. Jangan sampai revisi UU Pemilu dibatalkan karena adanya kepentingan segelintir pihak terkait kontestasi politik. “Kan tidak semua juga keinginan dari pemerintah itu harus dituruti sekalipun mereka adalah partai politik koalisi dari pemerintah yang saat ini berjalan,” kata dia.

Baca juga: Perludem Nilai Muncul Amnesia Elektoral, Pemilu 2019 Dianggap Berat tapi Tak Ingin Revisi UU

Fadli juga menyayangkan argumen pemerintah yang seolah tak ingin ada revisi UU Pemilu karena situasi pandemi Covid-19 masih terjadi. Menurut dia, dalam situasi seperti ini, UU Pemilu justru harus direvisi sekaligus untuk mengakomodasi kerangka hukum penyelenggaraan pemilihan di tengah situasi bencana non-alam. “Jadi secara formal menurut saya ini memang sangat perlu untuk ditunggu dan kita berharap muaranya adalah perbaikan terhadap kerangka hukum penyelenggaraan Pemilu ke depan,” kata Fadli.

Diberitakan, jadwal pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) masih jadi perdebatan seiring dengan rencana revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Sembilan fraksi di DPR terbelah. Sebagian fraksi ingin Pilkada dilaksanakan sesuai amanat Pasal 201 Ayat (8) UU Pilkada Nomor 10 Tahun 2016, yakni November 2024. Sementara, sebagian fraksi lainnya mendorong agar pelaksanaan Pilkada sesuai ketentuan dalam draf revisi UU Pemilu Pasal 731 Ayat (2) dan (3), yaitu pada 2022 dan 2023.

Perdebatan tentang jadwal pelaksanaan Pilkada juga sempat didiskusikan Presiden Joko Widodo bersama sejumlah mantan tim suksesnya di Pilpres 2019 atau Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf Amin. Dalam pertemuan tersebut, Jokowi mengisyaratkan bahwa dirinya enggan UU Pemilu direvisi. Ia ingin undang-undang tersebut dalam jangka waktu yang lama.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Perludem: Aneh Jika Partai dan Pemerintah Enggan UU Pemilu Direvisi”, https://nasional.kompas.com/read/2021/02/07/13124231/perludem-aneh-jika-partai-dan-pemerintah-enggan-uu-pemilu-direvisi?page=all.