• Post author:
  • Post category:Berita
  • Reading time:3 mins read

Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menanggapi pernyataan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, terkait biaya untuk menjadi presiden bisa mencapai Rp 8 triliun.

Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa Nur Agustyati, menyebutkan pencalonan Pilpres memang membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Namun, pengeluaran riil tersebut kerap berbeda dengan yang dilaporkan calon.

“Yang menjadi pertanyaan, ini banyak yang bilang (biaya pencapresan) mahal, tetapi di laporan dana kampanyenya, kok tidak sebesar yang diomongin orang? Jadi tidak sinkron di situnya. Ini ada gap di sini yang kami tidak bisa telusuri,” ucap Khoirunnisa kepada kumparan, Jumat (3/12).

Ia pun menanyakan fungsi dari laporan dana kampanye yang seharusnya menunjukkan data riil, terutama pada detail pengeluaran dan pemasukan calon.

“Yang jadi pertanyaannya adalah apakah laporan dana kampanye itu betul-betul mencerminkan riilnya? Apakah betul-betul detail yang dikeluarkan segitu? Terus, sumber-sumber pendanaan lainnya juga dicantumkan di laporan dana kampanye atau tidak?,” tanya Ninis.

Ninis mencatat beberapa dampak dari tingginya biaya pencapresan. Salah satunya calon akan berorientasi mengejar keuntungan. Terlebih jika ada sokongan dana yang membantu calon untuk maju dalam Pilpres, calon tentu akan berpihak pada mereka.

 “Ketika orang keluarkan banyak uang untuk modal, dia ingin modalnya balik. Itu salah satu dampaknya. Harus balik modal, kalau bisa untung,”
– Khoirunnisa.

“Atau ya memuluskan, misalnya ada yang modalin, perusahaan. Ya itu, dari sisi proyek dan kebijakan-kebijakan yang menguntungkan pihak tertentu, dampaknya bisa ke sana, kalau di awalnya dimulai dengan dapat dana dari pihak-pihak yang ilegal,” lanjutnya.

Karenanya, Perludem mengusulkan pembatasan pengeluaran bagi para calon. Ini bisa menjadi satu opsi untuk membatasi tingginya biaya yang dibutuhkan dalam Pilpres. Terlebih, aturan saat ini hanya mengatur pembatasan terkait sumbangan kepada calon.

“Kita ada pembatasan, tetapi hanya dalam segi sumbangan. Jadi, misalnya beberapa banyak orang boleh menyumbang, badan usaha, ada batasannya. Yang tidak ada batasannya itu adalah pengeluarannya. Sehingga orang jor-joran, keluar banyak uang, karena tadi asumsinya, banyak uang keluar, bisa dapat kursi dan menang,” usul dia.

Begitu pula dengan transparansi dana kampanye. Ia mendorong penyelenggara pemilu juga bisa melakukan audit terhadap dana pengeluaran dan pemasukan, sehingga laporan dana yang disusun capres dapat dipertanggungjawabkan secara maksimal.

“Bisa didorong transparansi dana kampanye. Dana tersebut belum mencerminkan riilnya seperti apa. Kalaupun memang ada auditnya, tapi auditnya belum bersifat investigatif, auditnya hanya soal kepatuhan dengan Undang-Undang. Misalnya, Undang-Undang tidak ada syarat tidak boleh terima syarat sumbangan Rp 2,5 miliar kalau individu, jadi audit hanya ngecek, betul atau tidak,” tandas Ninis.

 

Artikel ini telah tayang di Kumparan.com dengan judul “Perludem soal Biaya Capres Rp 8 T: Di Laporan Dana Kampanye Kok Tak Sebesar Itu?”, https://kumparan.com/kumparannews/perludem-soal-biaya-capres-rp-8-t-di-laporan-dana-kampanye-kok-tak-sebesar-itu-1x2VNQlhn7H/full