• Post author:
  • Post category:Siaran Pers
  • Reading time:9 mins read
Siaran Pers
“Perludem Mendaftar Sebagai Pihak Terkait di JR tentang Sistem Pemilu: Tolak MK Ubah Sistem Pemilu Proporsional Terbuka”
Kami di Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) pada Senin, 17 Januari 2023 telah mengajukan permohonan sebagai Pihak Terkait kepada Mahkamah Konstitusi dalam uji materil Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), 353 ayat (1) huruf b, 386 ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), dan Pasal 426 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) terhadap UUD 1945.
Perludem sedang menunggu Mahkamah untuk menerima dan menetapkan Perludem sebagai Pihak Terkait dalam uji materil sekaligus menunggu proses persidangan berikutnya yang akan mendengarkan keterangan Pihak Terkait KPU, Keterangan Dewan Perwakilan Rakyat dan Keterangan Pemerintah.
Perludem memandang bahwa perubahan sistem penyelenggaraan pemilihan umum, akan berdampak luas terhadap pemenuhan nilai konstitusionalitas penyelenggaraan pemilu, terutama pemenuhan prinsip kedaulatan rakyat, dan prinsip pemilihan langsung yang dijamin oleh Pasal 1 Ayat (2) dan Pasal 22E Ayat (1) UUD NRI 1945, pembahasan perubahan sistem pemilu, mesti dilakukan di dalam proses legislasi yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang, secara hati-hati, demokratis, dan partisipatif.
Setidaknya terdapat 4 (empat) argumentasi dasar Perludem dalam mengajukan permohonan kepada Mahkamah sebagai Pihak Terkait. Pertama,  Urgensi Pembahasan System Pemilu Dalam Sebuah Proses Lagislasi Yang Partisipatoris. Kedua, Peran Partai Politik Di Dalam Pencalonan Anggota DPR dan DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Ketiga, Batasan Konstitusional Mahkamah Konstitusi Terhadap Sistem Pemilu. Dan Keempat, Sistem Pemilu Proporsional Terbuka dan Demokrasi Internal Partai Politik.
Secara rinci, berikut detail berdasarkan masing-masing dalil yang diajukan oleh Perludem sebagai Pihak Terkait, sebagai berikut :
Urgensi Pembahasan System Pemilu Dalam Sebuah Proses Lagislasi Yang Partisipatoris
Pertama, Hal ini didasari karena sistem pemilihan umum, adalah hal yang paling mendasar untuk penyelenggaraan pemilihan umum dan kelembagaan sistem politik demokrasi.  Melalui sistem pemilu, dua esensi utama dari sistem politik demokrasi yakni partisipasi dan representasi dapat tercapai karena sistem pemilu bertugas untuk menerjemahkan atau mengonversi suara yang diberikan oleh pemilih ke kursi. Selain itu, mengubah sistem pemilihan umum menjadi proporsional tertutup dari sistem pemilu proporsional daftar terbuka, bukanlah persoalan yang sederhana mengenai tata cara pemberian suara dan penentuan calon terpilih semata, melainkan perlu mempertimbangkan variabel lain yang berkonsekuensi terhadap desain kelembagaan sistem politik demokrasi.
Kedua, Perubahan system pemilu terbuka ke tertutup akan berdampak pada berubahnya metode pemberian suara yang nanti akan diberikan oleh pemilih di Indonesia. Pemilih tidak lagi memiliki kesempatan untuk mengetahui, dan menentukan siapa calon anggota legislatif yang akan didukung atau dipilih di dalam sebuah proses pemilihan umum, khususnya dalam hal ini Pemilu Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Ketiga, perubahan sistem penyelenggaraan pemilihan umum, menjadi proporsional tertutup, akan berdampak signifikan terhadap aktivitas kampanye pemilu, sebagai salah satu instrumen utama pendidikan politik, serta komunikasi politik antara peserta pemilu dengan pemilih sebagai pemilik kedaulatan.
Keempat, Perubahan system proposional terbuka ke tertutup, berdampak langsung kepada pola dan desain pelaksanaan tahapan pemilu, di dalam kerangka manajemen keseluruhan pelaksanaan pemilu oleh Komisi Pemilihan Umum.
Peran Partai Politik Di Dalam Pencalonan Anggota DPR dan DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota
Pertama, di dalam sistem pemilu proporsional terbuka, yang saat ini berlaku di Indonesia, otoritas penuh yang memutuskan siapa saja yang boleh menjadi calon anggota legislatif, 100% diputuskan oleh partai politik.
Kedua, Dalam pelaksanaan sistem pemilu proporsional terbuka yang saat ini berlaku di Indonesia, justru akan mendorong calon anggota legislatif untuk bersetia kepada dua aktor utama sekaligus di dalam proses penyelenggaraan pemilihan umum. Pertama partai politik yang punya otoritas penuh di dalam mencalonkan anggota legislatif, dan kedua adalah pemilih, aktor utama yang menentukan apakah seorang calon anggota legislatif bisa terpilih atau tidak.
Ketiga, Dalam sistem lembaga perwakilan di Indonesia, seorang anggota legislatif adalah bagian dari partai politik, dan tidak bekerja untuk dirinya sendiri. Di dalam praktik pun, anggota legislatif selalu bekerja sesuai dengan agenda dan perintah partai politik. Oleh sebab itulah di dalam lembaga perwakilan terdapat fraksi, kelompok fraksi, yang tugas dan fungsinya menyatupadukan dan menjadi pemandu seorang anggota legislatif di dalam menjalankan tugas-tugas perwakilannya. Selain itu, perlu diingat bahwa terdapat instrumen hukum yang sudah melindungi partai politik, dari praktik seorang anggota legislatif yang bekerja untuk dirinya sendiri, yakni mekanisme pergantian antar waktu (PAW). Partai politik punya otoritas penuh, setelah menjalani serangkaian proses yang dilakukan di internal partai politik, untuk mengganti anggota legislatif yang tidak lagi bekerja untuk kepentingan partai politik, melainkan sudah bekerja untuk kepentingan dirinya sendiri
Batasan Konstitusional Mahkamah Konstitusi Terhadap Sistem Pemilu
Pertama, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008 yang membatalkan ketentuan Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah merupakan bentuk pemurnian oleh Mahkamah terhadap daftar sistem proporsional terbuka yang menggunakan standar ganda, yaitu menggunakan nomor urut dan perolehan suara masing-masing Caleg
Kedua, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008 yang membatalkan ketentuan Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e bukan merupakan bentuk keterlibatan atau kewenangan Mahkamah dalam menentukan suatu sistem pemilu di Indonesia. Putusan tersebut merupakan bagian dari Mahkamah yang mencoba memberikan keadilan atas ketidakpastian hukum dari ketentuan  Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e yang bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28 D ayat (3) UUD 1945. Hal ini dapat dilihat dalam poin pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan a-quo bahwa setiap calon anggota legislatif mempunyai kedudukan dan kesempatan yang sama di hadapan hukum, memberlakukan suatu ketentuan hukum yang tidak sama atas dua keadaan yang sama adalah sama tidak adilnya dengan memberlakukan suatu ketentuan hukum yang sama atas dua keadaan yang tidak sama. Sehingga Mahkamah menegaskan bahwa ketentuan Pasal 214 UU 10/2008 mengandung standar ganda sehingga dapat dinilai memberlakukan hukum yang berbeda terhadap keadaan yang sama sehingga dinilai tidak adil. Hal ini tentu berbeda dengan dalil yang diajukan Para Pemohon.
Ketiga, ketentuan Pasal yang menyatakan sistem proporsional terbuka di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sudah diterapkan dalam beberapa kali pemilu dan tidak sama sekali terdapat permasalahan konstitusional dan tidak terdapat permasalahan ketidakpastian hukum
Keempat, Para Pemohon justru mencoba menarik dan memaksa Mahkamah untuk masuk dalam penentuan sistem pemilu yang bukan merupakan kewenangan dari Mahkamah. Hal ini tentu berbeda dengan situasi yang terjadi di dalam pengujian Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Sehingga akan berdampak serius terhadap bangunan sistem penyelenggaraan pemilu kita, yang nantinya tidak bisa lagi melakukan evaluasi, perbaikan, dan pembenahan, jika nanti Mahkamah memutuskan bahwa sistem pemilu yang paling konstitusional adalah sistem pemilu proporsional daftar tertutup.
Sistem Pemilu Proporsional Terbuka dan Demokrasi Internal Partai Politik
Pertama, Sistem pemilu proporsional daftar tertutup dengan mekanisme penentuan calon terpilih berdasarkan nomor urut yang diperoleh calon anggota legislatif, jika diterapkan tanpa adanya mekanisme demokratisasi internal partai dalam proses rekrutmen akan berdampak pada semakin tidak demokratisnya partai politik di Indonesia dan membuka ruang adanya transaksi politik yang melibatkan uang untuk memperoleh nomor urut jadi.
Kedua, meskipun sistem pemilu proporsional daftar terbuka masih memiliki catatan dalam konteks demokratisasi internal partai politik, namun sistem pemilu ini memberikan akses yang terbuka untuk publik melihat langsung daftar nama calon anggota legislatif yang ditentukan oleh partai politik
Atas argumentasi dan dalil-dalil diatas, Perludem dalam permohonannya sebagai Pihak Terkait meminta kepada Mahkamah untuk menerima dan mengabulkan Pemohon Pihak Terkait untuk seluruhnya dan menolak Permohonan Pemohon dalam perkara 114/PUU-XX/2022 untuk seluruhnya dan menyatakan Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), 353 ayat (1) huruf b, 386 ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), dan Pasal 426 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) terhadap UUD 1945 Tidak Bertentangan Dengan UUD NRI 1945 dan Tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat
Hormat Kami,
Perludem
Narahubung :
Khoirunnisa Nur Agustyati (Prinsipal/Direktur Perludem) (0817-0021-868)
Fadli Ramadhanil, S.H., M.H. (Kuasa Hukum) (0852-7207-9894)
Kahfi Adlan Hafidz, S.H. (Kuasa Hukum) (0821-3705-1909)
Muhammad Ihsan Maulana, S.H. (Kuasa Hukum) (0812-9290-9933)