• Post author:
  • Post category:Siaran Pers
  • Reading time:4 mins read

Jusuf Kalla Jadi Pihak Terkait di JR MK: Ujian Konsistensi, Kemandirian dan dan Kenegarawanan Mahkamah Konstitusi

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)

Jakarta, 21 Juli 2018

Jusuf Kalla, yang saat ini menjabat sebagai wakil presiden mendaftarkan diri melalui kuasa hukumnya menjadi pihak terkait dalam permohonan uji materi UU Pemilu yang diajukan Partai Perindo ke Mahkamah Konstitusi. Partai Perindo mengajukan permohonan terkait dengan ketentuan penjelasan Pasal 169 huruf n UU No. 7 Tahun 2017. Permohonan yang terdaftar dengan nomor registrasi 60/PUU-XVI/2018 ini pada intinya hendak mempersoalkan ketentuan larangan seseorang mendaftar menjadi wakil presiden atau wakil presiden yang sudah menjabat dua kali masa jabatan, namun tidak berturut-turut.

Partai Perindo di dalam permohonan secara eksplisit menyebutkan, ketentuan tersebut telah menghalangi partai ini untuk mengajukan kembali Jusuf Kalla sebagai calon wakil Presiden Jokowi untuk Pemilu 2019. Atas dasar permohonan yang baru satu kali disidangkan oleh MK dalam forum panel pemeriksaan pendahuluan ini, Jusuf Kalla mengajukan diri menjadi pihak terkait. Oleh sebab itu, berkaitan dengan permohonan yang diajukan oleh Partai Perindo, serta masuknya Jusuf Kalla menjadi pihak terkait di dalam permohonan ini, Kami menyatakan beberapa hal sebagai berikut:

1)     Mahkamah Konstitusi harus memastikan institusinya, serta seluruh hakim konstitusi, untuk tidak akan melibatkan diri dalam kepentingan politik praktis para pemohon dan pihak terkait, terutama terkait dengan proses pencalonan Presiden 2019. Mahkamah Konstitusi mesti bersikap adil dan professional, dengan memproses permohonan yang diajukan oleh Partai Periondo, termasuk dengan sudah masuknya Jusuf Kalla menjadi pihak terkait, sesuai dengan prosedur penanganan perkara pengujian UU di Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi tidak semata memprioritaskan satu perkara, karena alasan, bahwa putusan itu akan digunakan untuk pencalonan presiden 2019. Karena, pada hakikatnya, semua permohonan pengujian UU di Mahkamah Kontitusi adalah penting, dan seluruh pemohon memiliki kerugian konstitusional yang dijelaskan kepada Mahkamah Konstitusi. Selain itu, dalam periode mulai 23 Juli hingga awal September nanti, Mahkamah Konstitusi akan disibukkan dengan agenda penyelesaian perselisihan hasil pemilihan kepala daerah.

2)     Terkait dengan substansi permohonan, sesungguhnya tidak ada lagi hal yang perlu diperdebatkan terkait dengan pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden yang hayna boleh menjabat dua kali untuk jabatan yang sama. Teks konstitusi Pasal 7 UUD NRI 1945 menyebutkan “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”. Jika melihat ketentuan ini, sama sekali tak ada keraguan terkait apakah pembatasan masa jabatan yang hanya dua kali untuk masing-masing jabatan presiden atau wakil presiden itu bertururt  turut atau tidak. Fokus pembatasan masa jabatan di dalam Pasal 7 UUD NRI 1945 itu adalah, bahwa seorang warga negara Indonesia, hanya boleh menjabat presiden dua kali masa jabatan, dan hanya boleh menjabat wakil presiden untuk dua kali masa jabatan. Terlepas berturut turut atau tidak.

3)     Dalam konteks sejarah, pembatasan masa jabatan untuk presiden dan wakil presiden ini adalah untuk memurnikan sistem presidensil di Indonesia, dimana seorang kepala pemerintahan dan kepala negara memiliki masa jabatan yang pasti, yakni 5 tahun, dan untuk meneguhkan prinsip negara demokrasi yang berlandaskan akan hukum, maka ada pembatasan untuk menduduki jabatan yang sama. Hal ini juga yang kemudian menjawab pertanyaan, bukankah dalam sistem presidensil yang memegang kekuasaan adalah presiden, dan wakil presiden adalah pembantu presiden? Untuk manjawab ini, tentu perlu diingatkan kembali, pascaamandemen UUD NRI 1945, sistem pemilihan presiden sudah dilakukan dalam konsep pasangan calon, dimana presiden dan wakil presiden dipilih secara bersamaan, dan harus diajukan secara bersamaan sejak awal oleh partai politik pengusungnya. Artinya, posisi presiden wakil presiden adalah jabatan yang tidak boleh dipisahkan. Apalagi, wakil presiden adalah orang yang akan menjadi presiden, andai sesuatu dan lain hal terjadi kepada presiden. Dan kuasa seorang wakil presiden sebagai orang nomor dua di republik ini tentu adalah sesuatu yang tidak bisa dinafikan.

4)     Adanya pembatasan masa jabatan maksimal dua kali untuk presiden dan wakil presiden juga dimaksudkan untuk mempercepat regenerasi politik dan kepemimpinan nasional. Jika tokoh –tokoh politik yang sudah sangat senior masih saja mencari cara untuk tetap mempertahankan kekuasaan, dan bisa menjadi calon presiden dan wakil presiden kembali, setelah menjalani jeda atau tidak berturut-turut, ini tentu akan menghambat regenerasi kepemimpinan nasional.

5) Indonesia telah meneguhkan diri sebagai negara demokrasi yang menjadi rujukan bagi banyak negara lain di kawasan regional maupun global. Indonesia juga telah menunjukkan komitmennya untuk mewujudkan demokrasi konstitusional dengan menerapkan pembatasan kekuasaan untuk mencegah otoritatianisme. Langkah pihak-pihak yang berupaya untuk memperluas kekuasaan dengan mengubah aturan pembatasan masa jabatan wakil presiden selain tidak sejalan dengan semangat reformasi, juga akan melemahkan proses konsolidasi demokratisasi di Indonesia. Serta berpeluang memundurkan dan mengurangi mutu pemilu dan demokrasi di Indonesia.

Demikianlah pernyataan sikap ini Kami sampaikan, atas perhatiannya Kami ucapkan terima kasih

CP: Fadli Ramadhanil (Peneliti Perludem) 085272079894